Desain Blog Tutorial dan Tips Trik Blogspot

Desa Adat Ciptagelar, Mesin Waktu Menuju Sunda Kuno



KABUT menyelimuti lereng-lereng Gunung Halimun kala hari merambat sore. Di balik itu tersembunyi kehidupan tua, sisa zaman Kerajaan Pajajaran. Negeri di balik kabut itu adalah Kampung Adat Ciptagelar yang berumur lebih dari 600 tahun. Warga kampung yang secara administratif terletak di Desa Cicemet, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ini menjauh dari hiruk pikuk kehidupan modern. Mereka tinggal di tengah hutan yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Kasepuhan Adat Banten Kidul berpusat di Kampung Ciptagelar. Warga kukuh menjaga adat istiadat. Namun, mereka juga menyambut setiap tamu dengan ramah dan dengan tangan terbuka. Hampir setiap hari ada saja tamu yang datang ke Ciptagelar.

Seperti pada November tahun lalu, Imah Gede yang menjadi pusat kegiatan warga disesaki pengunjung mulai dari para pengendara motor jalur offroad, mahasiswa. Ada pula warga Kasepuhan Adat Banten Kidul yang ingin menemui Pimpinan Adat Abah Ugi yang memimpin Kasepuhan Adat Banten Kidul sejak 2007.

foto: merdeka.com
 Populasi warga kasepuhan ini mencapai 26.000 jiwa yang tersebar di 360 kampung di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi. Sebanyak 60 keluarga di antara anggota kasepuhan bermukim di pusat pemerintahan Ciptagelar.

Untuk menjangkau masyarakat adat Ciptagelar, setiap pengunjung harus melewati jalanan berbatu terjal sejauh empat jam dari arah Pelabuhan Ratu dengan mobil 4x4. Tubuh harus siap dengan guncangan hebat selama pendakian hingga ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.

foto: merdeka.com
 Perjalanan di medan berat ini terasa sepadan ketika disodori suguhan keelokan bentang alam berupa sawah berundak, sungai jernih, dan hutan lebat. Pengendara harus ekstra hati-hati karena jalanan terpotong sungai. Batuan terjal penyusun jalan pun mudah longsor.

Tiga jalur
Ada tiga jalur utama menuju Kampung Adat Ciptagelar. Jalur pertama merupakan jalur terindah, sepanjang 28 kilometer dari Pelabuhan Ratu menuju Sukawayana. Jalur yang membelah hutan sepanjang 9 km ini dibangun hanya dalam waktu tiga hari. Tiap warga mendapat jatah pembangunan 1 meter jalan dengan satu cangkul.

Jalan dari batu tersebut sengaja dibuat berkelok-kelok agar tak satu pun pohon tertebang. Pohon dibiarkan tumbuh menjulang tinggi hingga sinar matahari tak menembus ke lantai hutan yang ditumbuhi lumut dan paku-pakuan. Bagi warga Ciptagelar, alam menjadi sumber penghidupan sehingga harus dirawat.

Jalur kedua, menuju Ciptagelar bisa ditempuh melewati Kampung Sirnaresmi sejauh 12,6 km. Jalur lainnya adalah lewat Cicadas-Cikadu-Gunung Bongkok di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang merupakan jalur terpendek.

Di lebatnya hutan Gunung Halimun, warga mencari buah-buahan, obat, hingga ranting untuk kayu bakar. Selain padi sawah, mereka juga menanam padi tadah hujan di lereng-lereng bukit di luar kawasan hutan. Seluruh jenis padi yang ditanam merupakan padi lokal warisan turun- temurun dari Kerajaan Pajajaran.

Jalur pertama ini juga melewati Ciptarasa yang pernah menjadi pusat pemerintahan atau kampung gede Kasepuhan Adat Banten Kidul. Pemimpin adat almarhum Abah Anom memindahkan kampung gede dari Ciptarasa ke Ciptagelar pada 2001. Hingga kini, Kasepuhan Adat Banten Kidul masih hidup dalam aturan nomaden berdasarkan petunjuk spiritual.

Sisa-sisa dari kampung gede di Ciptarasa masih tampak dari rumah- rumah bambu dengan sebagian warganya yang tetap memilih tinggal di sana. Ciptagelar lantas menjadi kampung gede ke-11 sejak berdirinya Kasepuhan Adat Banten Kidul pada tahun 1368.

Kehangatan Imah Gede
Setiap kali berpindah pusat pemerintahan, warga selalu membawa serta lumbung komunal yang dijuluki leuit Si Jimat. Lumbung tua yang menjamin ketersediaan pangan warga itu saat ini ditempatkan tepat di samping Imah Gede Ciptagelar. Warga bisa meminjam benih padi dari leuit Si Jimat tanpa bunga.

Abah Ugi dan istri, pada saat berlangsungnya Seren Taun ke 644 di Ciptagelar.  Foto: Ridzki R. Sigit
 Kehadiran lumbung atau leuit yang terbuat dari bambu dengan atap dari ijuk memang menjadi ciri khas Kampung Ciptagelar. Dari lumbung-lumbung itu, status sosial warga bisa dibaca. Semakin kaya seseorang, maka semakin banyak leuit yang dimiliki. Abah Ugi, misalnya, memiliki 21 leuit pribadi dan 7.000 leuit komunal.

Demi keberlangsungan ketersediaan pangan, warga Ciptagelar dilarang memperjualbelikan padi lokal. Dengan sistem ini, warga tidak pernah kekurangan pangan walaupun hanya panen sekali dalam setahun. Warga juga menerapkan pertanian tradisional berpedoman pada bintang tanpa pupuk kimia ataupun insektisida.

Padi menempati tempat utama di hati warga. Seluruh kehidupan di Ciptagelar berpusat pada padi. Dalam setahun ada lebih dari 12 ritual yang digelar terkait padi, mulai dari upacara menyongsong waktu tanam padi hingga seren taun yang merupakan pesta panen.

Nasi dari padi lokal bisa dengan mudah dicicipi oleh para tamu di Imah Gede. Nasi yang disajikan dengan asap masih mengepul ini menebarkan bau harum. Dengan lauk ikan wader, sayur nangka, dan olahan leunca, satu piring nasi terasa tidak akan pernah cukup.

Setiap hari, istri Pimpinan Adat Abah Ugi, Emak Alit, dan beberapa perempuan lain memasak nasi di perapian kayu dalam porsi besar. Warga yang bekerja di ladang komunal selalu bersantap pagi, siang, dan malam di Imah Gede yang menyatu dengan rumah pimpinan adat itu.

Di Imah Gede berlaku peraturan bahwa kaum perempuan harus mengenakan rok panjang dan semua pria harus memakai ikat kain di kepala. Hanya sebagian dari tamu yang beruntung bisa berbincang dengan Abah Ugi di rumahnya yang masih memberlakukan tata cara seperti di Kerajaan Pajajaran. Tamu harus berjalan dengan posisi duduk sebelum bersalaman dan berbincang dengan Abah Ugi yang duduk di singgasananya.

Imah Gede juga menyajikan kehangatan bagi para tamu dari dinginnya hawa Gunung Halimun. Kamar-kamar dengan pembatas dinding dari anyaman bambu telah disiapkan sebagai tempat singgah. Di dalamnya tersedia kasur kapuk randu, selimut, dan segelas teh manis hangat.

Waktu berlalu begitu cepat ketika singgah di Ciptagelar. Malam yang terasa sunyi menjadi semakin indah ketika kita melongok ke atap langit. Ribuan bintang yang bersinar terang seperti begitu dekat. Bintang-bintang yang setia menjadi pemandu kehidupan warga Ciptagelar sejak ratusan tahun lampau.

sumber1  sumber2

0 Response to "Desa Adat Ciptagelar, Mesin Waktu Menuju Sunda Kuno"

Post a Comment