Ada sebuah anggapan bahwa mendaki gunung itu adalah sebuah tindakan
yang keren dan gagah. Ada rasa bangga ketika sudah menginjakan kaki di
puncaknya. Namun, sadarkah kita bahwa kita yang mengaku pecinta, ataupun
penikmat alam, bisa jadi adalah seorang perusak alam?
1. Melakukan kegiatan pendakian massal (non-konservatif)
Mungkin kita sudah tahu tentang sebuah brand perlengkapan outdoor
yang melakukan pendakian massal ke gunung Semeru beberapa waktu lalu.
Saya sempat diajak teman karena dalam iklannya pendakian ini dibumbui
oleh kata-kata bersih-bersih gunung, tanam pohon, dan konservasi.
Kenyataannya?
Semeru menjadi tempat sampah dan potensi rusaknya
ekosistem makin besar. Sebelum mengikuti pendakian massal, ada baiknya
survey terlebih dahulu. Berapa kapasitas gunung tersebut, berapa
jumlah pendaki yang dibolehkan ikut oleh panitia, dan hal yang terkait
dengan konservasi lainnya. Jadilah pendaki yang bertanggung jawab, sob!
2. Andil besar mencemari lingkungan
Saya pernah naik gunung dengan seorang rekan yang kelihatannya sudah
‘senior’ dalam hal mendaki. Namun, ditengah perjalanan istirahat, saat
ia memakan sebuah makanan ringan, dengan ringannya pula ia membuang
sampah itu sembarangan. Itulah potret kebanyakan pendaki yang tidak
paham akan konservasi.
Apa sulitnya sih membawa sampah di dalam
tas? Di lain waktu, saat saya sedang ingin mengambil air di sebuah mata
air, terlihat seorang pendaki yang sedang menikmati ritual B*B di mata
air itu! Apa dia tidak berfikir orang akan minum dari sana? Sebegitu
sulitkah menggali lubang di tanah? Kucing saja masih bisa lebih pintar!
Dan banyak juga pendaki-pendaki yang masih saja menggunakan bahan-bahan
kimia yang bisa merusak. Jangan heran kalau menemukan bungkus
sabun/shampo yang tergeletak dekat di mata air.
3. Bersikap acuh tak acuh dan pasif.
Menganggap tugas konservasi itu adalah tugasnya penjaga Taman
Nasional, porter, dan LSM lingkungan. Padahal pendaki sendirilah yang
punya bagian besar dalam menjaga lingkungan. Juga tidak mengindahkan
kearifan lokal yang telah ditetapkan masyarakat setempat. Tertulis
ataupun tidak tertulis.
Seringkali mitos-mitos mistis di gunung itu
sebetulnya adalah usaha untuk konservasi dari masyarakat. Jangan sampai
bilang begini, ” Saya bukan pecinta alam, kok. Cuma penikmat alam. Jadi
bukan tugas saya dong untuk konservasi?”
4. Merusak keasrian gunung
Tidak sulit menemui corat-coret vandalisme di bebatuan, batang pohon,
bahkan pos pendakian. Mengambil flora & fauna langka seperti bunga
edelweiss, bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kebakaran hutan.
Puntung rokok dan bekas api unggun yang masih menyala, membuka jalur
yang tidak seharusnya, membuang tissue basah kotor seenaknya dan masih
banyak lagi.
5. Tidak membagikan pengetahuan tentang pendakian konservatif
Tak dipungkiri, mendaki gunung sekarang sudah terkesan menjadi sebuah ‘wisata’. Apalagi banyak pengaruh dari acara televisi, film,
blog, forum dan banyak media lainnya. Membagikan semangat mendaki
gunung kepada orang-orang baru tanpa dibarengi semangat konservasi hanya
akan menjadikan para pendaki tersebut menjadi generasi pendaki yang
cenderung antipati terhadap lingkungan dan hanya mementingkan kesenangan
semata.
Sebagian dari kita mungkin pernah melakukan hal atas, secara
sengaja maupun tidak sengaja. Yang pernah, tolong jangan diulangi lagi
dan mari saling mengingatkan kepada rekan pendaki yang lain. Semoga
gunung-gunung Indonesia masih bisa dinikmati anak-cucu kita nantinya.
Amin. Salam lestari!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "5 Dosa Para Pendaki Gunung yang harus dihindari"
Post a Comment